Rabu, 18 November 2009

Proposal Mini PI - BAHASA JEPANG

Proposal mini PI

KARAKTERISTIK VERBA BAHASA JEPANG


Abstrak:

Semua bahasa di dunia ini mempunyai kelas
kata verba. Sesuai dengan tipologi bahasanya, ada bahasa
yang meletakkan verba di depan kalimat, di tengah
kalimat, atau di akhir kalimat. Hal ini merupakan satu
keunikan dan kekhasan tersendiri dari bahasa tersebut.
Begitu pula dengan verba bahasa Jepang, mempunyai
karakteristik tersendiri. Dari segi bentuk verba bahasa
Jepang dibagi menjadi verba asal dan turunan, dan ada
pula yang membaginya menjadi shiin doushi, boin
doushi, dan kahendoushi-sahendoushi. Secara fungsi,
verba bahasa Jepang merupakan predikat dalam kalimat
dan pewatas nomina. Secara makna verba bahasa Jepang
diklasifikasikan sesuai dengan makna aspektual inheren
verba dalam konstruksi te/deiru.

Kata kunci : Verba, bentuk, fungsi, makna


Pendahuluan

Verba dalam bahasa Indonesia dan bahasa lain di dunia ini
merupakan unsur penting dalam suatu kalimat. Begitu pun dalam bahasa
Jepang, verba merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dalam
pembentukan sebuah kalimat, untuk menunjukkan suatu aktivitas ataukah
keadaan yang ditunjukkan oleh verba dalam kalimat tersebut.
Seperti halnya verba dalam bahasa-bahasa di seluruh dunia ini,
verba dalam bahasa Jepang pun mempunyai karakteristik tersendiri
dilihat dari segi bentuk, fungsi, dan maknanya, yang membedakannya
dengan bahasa lain. Berikut akan dijelaskan karakteristik verba dari segi
bentuk, fungsi, dan maknanya.

Karakteristik Verba dalam Bahasa Jepang
a. Bentuk
Alwi, dkk (1998 : 98) mengemukakan bahwa berdasarkan
pembentukannya, verba dalam bahasa Indonesia mempunyai dua macam
bentuk, yakni (1) verba asal : verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks
dalam konteks sintaksis, dan (2) verba turunan : verba yang harus atau
dapat memakai afiks bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan/atau
pada posisi sintaksisnya. Verba turunan dibagi lagi menjadi tiga
subkelompok, yakni (a) verba yang dasarnya adalah dasar bebas
(misalnya, darat), tetapi memerlukan afiks supaya dapat berfungsi
sebagai verba (mendarat), (b) verba yang dasarnya adalah dasar bebas
(misalnya, baca) yang dapat pula memiliki afiks (membaca), dan (c)
verba yang dasarnya adalah dasar terikat (misalnya, temu) yang
memerlukan afiks (bertemu).
Di dalam bahasa Jepang pun dari segi bentuknya verba dapat
dibedakan menjadi dua macam bentuk, yakni (1) verba dasar atau verba
asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks, dalam bahasa
Jepang disebut 自立動詞jiritsu doushi, dan biasanya berbentuk
monomorfemis. Verba semacam ini terutama berasal dari verba bahasa
Jepang asli 和語動詞wagodoushi misalnya, 見るmiru ’melihat’, 寝る
neru ’tidur’, 働くhataraku ’bekerja’. Kemudian (2) verba turunan atau
dalam bahasa Jepang disebut 派生動詞haseidoushi, adalah verba yang
dasarnya adalah dasar bebas atau terikat tetapi memerlukan afiks supaya
dapat berfungsi sebagai verba secara sintaksis dalam bahasa Jepang.
Misalnya, verba dasar 食べるtaberu ’makan’ jika dilekati sufiks
~saseru akan menjadi verba kausatif yaitu 食べさせるtabesaseru,
’membuat (seseorang/sesuatu) menjadi makan (O)’, verba dasar 進める
susumeru dibubuhi prefiks 押しoshi menjadi 押し進めるoshisusumeru
’mendorong’, verba dasar 飲むnomu ’minum’ dibubuhi sufiks ~areru
menjadi 飲まれるnomareru ’diminum’. (Muraki, 1996 : 27 dan 41).
Sedangkan menurut Masuoka dan Takubo (1989 : 15), verba dalam
bahasa Jepang dapat dibedakan berdasarkan fonem akhirnya ketika harus
berkonjugasi ke dalam bentuk lain. Berdasarkan pembagian tersebut
verba bahasa Jepang dapat dikelompokkan atas :
(1)子音動詞shiin doushi, adalah akar verba yang memiliki fonem
yang berakhiran konsonan /s/, /k/, /g/, /m/, /n/, /b/, /t/, /r/, dan /w/
yang bersifat prakategorial dan bila dibubuhi /u/ akan menjadi verba
pangkal (Vp). Contoh :

akar Vp glos
nom + /u/ nomu ’minum’
kak + /u/ kaku ’tulis’
sin + /u/ sinu ’mati’

Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan I (五段動詞)

(2) 母音動詞boin doushi, yaitu akar verba yang memiliki fonem yang
berakhiran vokal /e/ misalnya tabe dan vokal /i/ misalnya oki, yang
bersifat prakategorial dan bila dibubuhi ~ru akan berubah menjadi
verba pangkal (Vp). Contoh :

akar Vp glos
tabe + /ru/ taberu ’makan’
oki + /ru/ okiru ’bangun’

Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan II (一段動詞).

(3) Selain verba golongan I dan II, ada pula verba golongan III yang
hanya terdiri dari 2 verba yaitu, kuru ’datang’, dan suru ’melakukan’
yang berkonjugasi tidak teratur tidak seperti verba golongan I (五段
動詞), dan golongan II (一段動詞), oleh karena itu disebut irregular
verb (カ変動詞、サ変動詞).

Dari uraian tadi, dapat dilihat bahwa sebenarnya verba dalam
bahasa Jepang dan bahasa Indonesia dari segi bentuknya mempunyai
kesamaan yaitu adanya verba dasar/asal dan verba turunan. Namun
demikian, dari pemilahan seperti yang dikemukakan oleh Masuoka dan
Takubo dapat terlihat bahwa verba dalam bahasa Jepang selain dapat
dipilah menjadi verba dasar dan turunan, dapat dipilah juga berdasarkan
cara berkonjugasi verba tersebut dalam kalimat, yang terlihat cukup unik
dan rumit.
Pemilahan verba seperti tersebut di atas dari segi bentuk menjadi
shiin doushi atau godandoushi, boin doushi atau ichidan doushi, dan
henkaku doushi (kahendoushi dan sahendoushi) akan berpengaruh pula
pada konstruksi verba tersebut dalam suatu kalimat, karena masingmasing
jenis verba secara morfologis mempunyai aturan tersendiri ketika
bergabung dengan sebuah konstruksi kalimat tergantung dari ekspresi

yang akan digunakan. Dengan demikian, secara gramatikal verba
mempunyai peranan yang penting dalam membentuk sebuah kalimat,
karena dalam bahasa Jepang konstruksi sebuah kalimat yang berpengaruh
pada keseluruhan makna kalimat tersebut melekat pada verba. Berikut
pendapat Muraki (1996:122) dan Koizumi (1993:117) mengenai kategori
secara morfologis verba bahasa Jepang, sebagai berikut :

(1) <肯定否定> = pernyataan atau negasi
肯定=非過去→ カクkaku (pernyataan tidak lampau)
    過去→ カイタkaita (pernyataan lampau)
      否定=非過去→ カカナイkakanai (negasi tidak
lampau)
     過去→ カカナカッタkakanakatta (negasi
lampau)

(2) 時制「テンス」’tenses’:lampau, masa kini, dan masa yang
akan datang.
a.(過去形)1992年にバルセロナでオリンピックが行
われた。(lampau)
  b. (非過去形)オリンピックは4年ごとに行われる。
(tidak lampau)
(3) アスペクトaspek: ~はじめる、~つづける、~おわる、て
いる、てある、てしまう、ておく、ていく、てくる, dan
sebagainya.
(4) ヴォイス(態)voice:しかる→しかられる(受身)、飲
む→飲ませる(使役)、泳ぐ→ 泳げる(可能形)。
(5) ムード(法)modus:だろう・でしょう(推量)、てくだ
さい(丁寧な命令)、たら(条件)、ましょう(勧誘)。

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa verba-verba
bahasa Jepang secara morfologis akan berkonjugasi ke dalam sebuah
konstruksi kalimat sesuai dengan ekspresi yang akan digunakan, apakah
berkaitan dengan pernyataan atau negasi, tenses (kala), aspek, voice,
ataukah modus. 

b. Fungsi
Alwi dkk (1998:87) dan Verhaar (1998) mengemukakan bahwa
verba di dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi utama sebagai predikat
atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai
fungsi lain. Sementara itu Masuoka (1989:13) dan Muraki (1996:16)
mengemukakan bahwa verba dalam bahasa Jepang pun berfungsi utama
sebagai predikat selain dapat juga berfungsi lain seperti contoh berikut ini:

1. 田中が手紙を書く。
 tanaka ga tegami o kaku
tanaka nom surat akus menulis
’ Tanaka menulis surat.’
2. 手紙を書く人は田中です。
 tegami o kaku hito wa tanaka desu
surat akus menulis orang top tanaka adalah
’Orang yang menulis surat itu (adalah) Tanaka
3. 田中は太郎が書いた手紙をやぶれました。
 tanaka wa taro ga kaita tegami o yaburemashita
tanaka top taro nom menulis surat akus menyobek
’Tanaka menyobek surat yang ditulis Taro’
Verba 書くkaku ’menulis’ pada kalimat no.1 berfungsi sebagai
predikat, karena verba tersebut berposisi di belakang argumen (objek atau
subjek), sedangkan verba kaku ’menulis’ pada kalimat no.2 dan verba
kaita pada kalimat no.3, tidak berfungsi sebagai predikat melainkan
sebagai pewatas nomina (PN) karena verba tersebut berposisi di depan
nomina. Fungsi ini berlaku untuk seluruh jenis verba(l) dalam bahasa
Jepang, termasuk verba(l) yang telah bergabung dengan sebuah
konstruksi kalimat seperti konstruksi kausatif (shieki), pasif (ukemi), dan sebagainya.

c. Makna
Verhaar (2001:385) mengemukakan bahwa secara umum, makna
dibagi ke dalam (1) makna leksikal, dan (2) makna gramatikal. Kemudian
Djajasudarma (1999:13) mengemukakan bahwa makna leksikal adalah
makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lainlain;
makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri,
lepas dari konteks. Chaer (2003:289) pun mengatakan bahwa makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun. Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa makna
leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra manusia, atau makna apa adanya.

Makna gramatikal menurut Djajasudarma (1999:13) adalah
makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau yang muncul
sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Selanjutnya Aminuddin
(1988:89) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makna gramatikal adalah makna yang timbul akibat adanya peristiwa gramatikal, baik
antara imbuhan dengan kata dasar maupun antara suku kata dengan suku kata atau frase dengan frase. Lalu, Chaer (2002:62) mengemukakan
bahwa makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.
Dengan demikian, dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat
dipahami bahwa makna leksikal adalah makna yang berdiri sendiri,
makna yang dimiliki atau ada pada leksem lepas dari konteks, sedangkan
makna gramatikal adalah makna yang muncul atau hadir sebagai akibat
berfungsinya seluruh unsur dalam kalimat.
Secara umum, verba mengandung makna leksikal atau makna
dasar perbuatan (aksi), proses atau keadaan yang bukan proses (Moeliono
dkk, 1988:76), sedangkan secara gramatikal makna verba tersebut
bergantung pada hubungan dengan unsur lain dalam satuan-satuan yang
lebih besar.
Djajasudarma (1997:69-77) menerapkan pemilahan verba bahasa
Indonesia berdasarkan maknanya ke dalam dua jenis seperti yang
dikemukakan Quirk, yakni verba dinamis dan verba statif. Verba dinamis
dapat dipilah menjadi: verba aktivitas, verba proses, verba sensasi tubuh,
verba peristiwa transisional, dan verba momentan. Lalu, verba statif dapat
dipilah menjadi: verba dengan persepsi dan pengertian lamban, dan verba
relasional. Pada umumnya verba dinamis memiliki makna keaspekan
imperfektif, kecuali verba peristiwa transisional ada yang tidak memiliki
makna keaspekan imperfektif, sebagian tidak, dan verba statif relasional
pun dalam bahasa Indonesia masih mungkin didapatkan dengan makna
aspektual imperfektif.
Selanjutnya Djajasudarma (1997:65) mengemukakan pula bahwa
pemilahan ini berkaitan dengan pemilahan kalimat dari Vendler yang
memilah kalimat menjadi empat macam tergantung dari makna verba
yang dipilih untuk menyatakan situasi tertentu, yakni :
1. kalimat statif (John loves Mary)
2. kalimat aktivitas (John pushes a car)



Simpulan
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Secara bentuk verba dalam bahasa Jepang mempunyai kemiripan
dengan verba dalam bahasa Indonesia, yaitu terdiri dari verba dasar atau
verba asal dan verba turunan. Akan tetapi selain pemilahan tersebut,
secara bentuk verba dalam bahasa Jepang dapat dipilah menjadi shiin
doushi atau godan doushi, boin doushi atau ichidan doushi, dan henkaku
doushi (kahen doushi dan sahen doushi). Pemilahan ini berkaitan dengan
konjugasi verba ke dalam suatu konstruksi kalimat, karena masingmasing
jenis mempunyai aturan tersendiri.
2. Secara fungsi, verba dalam bahasa Jepang berfungsi sebagai predikat
dan diletakkan di akhir kalimat karena bahasa Jepang merupakan tipe
bahasa SOV, yaitu bahasa yang mempunyai verba yang terletak di akhir
kalimat. Selain sebagai predikat, verba dalam bahasa Jepang juga
berfungsi sebagai pewatas nomina.
3. Secara makna verba dalam bahasa Jepang dapat diklasifikasikan ke
dalam empat jenis yaitu verba stative, verba continuative, verba
instantaneous, dan verba tipe 4. Klasifikasi ini berdasarkan makna
aspektual inheren verba yang digabungkan dengan konstruksi te/deiru.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk
1998 Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Chaer, Abdul.
1994 Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T.Fatimah
1993a Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:
PT.Eresco.
1993b Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT.Eresco.
1997 Analisis Bahasa Sintaksis dan Semantik. Bandung :
Humaniora Utama Press (HUP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar